Budaya tayub sepertinya di Magersari hanya ada setahun sekali ya saat tasyakuran bumi saja. Syahdan pada zaman dahulu disaat syiar Islam belum masuk wilayah ini, kesenian tayub merupakan kesenian rakyat yang cukup berkembang pesat saat ada hajatan di masyarakat. Diantaranya ketika babat alas sebelum membuka sebuah pemukiman yang kemudian beranak pihak menjadi sebuah perkampungan.
Saat kranggan Waru yang begitu luas dan masyarakatnya mulai mendapatkan syiar Islam dari wilayah timur yaitu Kanjeng Sunan Bonang, dari wilayah selatan yang dibawah Lasem pimpinan Den Panji Singataka menantu Tedjakoesoeman serta berikutnya dari arah barat keturunan Kajen Mbah Mutamakin yaitu Mbah Abdurrahman, maka kaum muslimin mulai nggrumbul. Dan saat itulah Magersari yang masih banyak semak dibuka oleh kerabat beliau atau sahabatnya bernama Mbah Aminah.
Kemudian oleh masyarakat setempat sering disebut Mbah Minah. Putra atau putrinya bertempat tinggal menyebar dibeberapa tempat yang kemudian karena untuk menyambung silaturahim terbentuklah pemukiman-pemukiman kecil yang dihubungkan jalan berkembang berupa perempatan. Karena tayub adalah salah satu kesenian yang beliau sukai maka sering tampil dalam acara syukuran hasil bumi setelah panen.
Ritual yang kadang melenceng karena sesajen di perempatan dan brokohan untuk makhluk penunggu pundhen dan perempatan karena kearifan lokal ini tak ada yang menjelaskan sehingga salah arah. Sebenarnya para pePundhen yang sumare tetep minta rejeki dan mewujudkan syukurnya hanya pada Allah. Seperti orang-orang shaleh zaman Nabi Nuh yang saat wafat dibuatkan patung untuk mengenang (seperti patung Diponegoro saat ini) namun kemudian sekian abad berlalu meminta rejeki pada patung tersebut. Ini keliru dan perlu diluruskan.
Kini kaum muda dipimpin Kang Modin Abdul Rohim mengembalikan fungsi pundhen untuk mendoakan leluhur agar diampuni segala dosa dan kekurangannya serta didoakan agar diterima amal baiknya. Tiada sesajen untuk makhluk penunggu lagi, namun warga membawa berkat untuk berdoa bersama dan dibagi bersama-sama antar tetangga. Walau demikian, panitia juga amat menghargai yang tetap tidak mau datang ke pundhen, dengan khataman Al Qur'an & pengajian di langgar, mushalla atau masjid.
Intinya semua harus tetap guyub dan rukun, saling menghormati dan tidak saling mengganggu keyakinan masing-masing. Tayub tetap menghibur masyarakat berkeliling desa, berawal dari Pundhen Mbah Minah kemudian berhenti di setiap perempatan. Begitulah Magersari, satu dari tujuh kelurahan di Kab. Rembang. Merupakan pagar dan tamansari zaman dulu dari Kademangan Waru yang luas. Mulai banyak pendatang dipinggiran selatan pantura (jalan pos zaman daendels).
Batas sebelah utara adalah Ngujung, Tanjungsari pesisir Laut Jawa, timurnya adalah Jagatami (tempat pasukan jaga zaman ibukota Lasem dipindah Adipati Suroadimenggolo III dari Desa Tulis ke Magersari sampai pernah jadi ibukota district Waru masa Karesidenan Rembang). Sebelah barat berbatasan dengan Dukuh Sawahn Desa Banyudono Kec. Kaliori dan Dukuh Playon Desa Waru, selatannya berbatasan dengan Waru Lor dan Dukuh Slodran Desa Waru.
Semoga Kelurahan Magersari aman tentram nyaman dan masyarakatnya tetap guyub rukun damai.